Tulisan ini diambil dari Buku Norman Edwin "Catatan Sahabat Sang Alam".
Tulisan ini juga pernah dimuat dalam surat kabar Suara Pembaruan, Sabtu,
14 maret 1987. Maksud saya mecatat dan menulisnya kembali bertujuan
agar para pelaku kegiatan alam bebas khusunya pendaki gunung dapat
sama-sama belajar dari kejadian masa lalu. Sehingga kejadian-kejadian
yang tidak diinginkan tidak terulang kembali. Berikut isi dari tulisan Norman Edwin :
Jakarta, Sabtu 14 Maret 1987
Menteri Kehutanan Soedjarwo dalam waktu dekat akan mengeluarkan
ketentuan dan peraturan untuk dipatuhi pendaki gunung. Diantaranya
dengan tes kesehatan akibat banyaknya pecinta alam alam yang tewas
ketika mendaki. Disinyalir banyak pendaki gunung yang tidak membawa
perlengkapan cukup, bahkan ada yang bersendal jepit aja. Di bawah ini
adalah analisa masalah pendakian gunung di negeri kita berdasar
pengalaman Norman Edwin, seorang wartawan yang merangkap penjelajah alam.
Kesulitan utama bagi para pendaki gunung Indonesia adalah langkanya buku
tentang teknik mendaki gunung. Kalaupun ada umumnya buku itu berbahasa
asing. Beberapa buku berbahasa Indonesia tentang hal ini masih belum
digarap secara profesional, artinya belum bisa dipakai oleh pendaki
gunung Indonesia.
Untuk pendakian gunung di Indonesia yang berhutan dan beriklim tropis,
perlengkapan yang diperlukan agak berbeda dibanding kalau kita mendaki
di daerah subtropis di Eropa atau Amerika. Hutan yang lembab dan lebat,
juga cucuran hujan yang sering terjadi, membuat teknik mendaki gunung di
Indonesia mempunyai dimensi yang khas.
Perlengkapan utama dari kegiatan yang mengandalkan kemampuan berjalan kaki ini tentunya adalah sepatu. Sepatu yang digunakan harus mempunyai sol yang baik dan terbuat dari karet atau karet sintetis.
Banyak pendaki pemula yang melakukan kesalahan dengan memakai sepatu
dengan sol kulit. Sol jenis ini membuat pemakainya gampang tergelincir
dan ini berbahaya, terutama untuk gunung-gunung di Indonesia. Sol sepatu
juga harus mempunyai "kembang" yang besar sehingga mampu "mengigit"
medan yang licin.
Perlengkapan lain adalah ransel. Dengan rasel, berat beban yang dibawa
pendaki gunung gampang dibawa, karena titik berat jatuh tepat di pundak
dan punggung. Kalau dibawa dengan tas biasa, beban itu akan ditahan oleh
bagian-bagian yang tidak sekuat pundak dan punggung, misalnya oleh
pinggang. Pengepakan barang dalam ransel juga seringkali mempengaruhi
pembawanya. Barang yang berat harus diletakkan paling atas, ini
sangat penting agar beban di dalam ransel itu tepat jatuh di pundak dan
punggung, bukan ditempat lain.
Jeans Berbahaya. Setelah itu adalah pakaian. Banyak pendaki
gunung yang mengira bahwa memakai celana jeans adalah praktis dan tahan
robek. Sebenarnya memakai jeans bisa membahayakan pendaki gunung,
lebih-lebih di gunung dengan curah hujan yang besar seperti di
Indonesia. Bahan celana ini sukar sekali kering kalu basah. Kalu sudah
begini, badan pemakainya akan selalu kedinginan. Ini akan mempercepat
menurunnya panas badan karena cuaca dingin di gunung. Yang terbaik bahan
celana adalah dari katun.
Karena kemungkinan hujan besar sekali di gunung, maka jas hujan atau jaket hujat penting sekali dibawa. Sering sekali kasus kematian di gunung berawal dari tidak dibawanya perlengkapan menahan hujan ini.
Bdan yang basah karena tidak dilindungi dengan jas atau jaket hujan
menyebabkan panas badan pendaki gunung menurun cepat sehingga tidak
mampu lagi menghasilkan energi yang diperlukan. Lebih-lebih kalau sumber
energi makanan tidak lagi tersedia karena sudah habis.
Diremehkan. Setelah berjalan seharian, malam hari badan harus
diistirahatkan agar cukup tersedia energi untuk pendakian berikutnya.
Untuk itu seorang pendaki gunung memerlukan tempat yang nyaman dan
hangat. Sebuah tenda yang baik diperlukan. Banyak kesalahan diperbuat
pendaki pemula dengan meremehkan peranan tenda. Tanpa tenda, seorang
pendaki gunung tidak dapat beristirahat dengan baik. Mungkin sepanjang
malam dia tidak bisa beristirahat karena tidur di tempat terbuka atau di
bivak yang kurang baik.
Udara gunung yang dingin membuat pendaki gunung harus mampu menjaga
panas badannya. Untuk itu sebuah kantung tidur (sleeping bag)
diperlukan. Sepanjang malam badan jadi hangat dan mampu untuk
menghadilkan energi untuk pandakian besoknya.
Di gunung tropis, tidak bisa diharapkan pemakaian kayu untuk memasak.
Karena itu, kompor harus masuk dalam perlengkapan yang harus dibawa.
Sekarang ini banyak jenis kompor yang ringan. Kompor pompa yang memakai
minyak tanah banyak dipakai untuk mendaki gunung-gunung di Indonesia.
Seorang pendaki gunung memerlukan 3000 sampai 4000 kalori setiap hari
dalam melakukan kegiatannya. Ia harus mampu memperthitungkan ini. Udara
yang dingin menyebabkan seorang pendaki memerlukan kalori yang tinggi
utnuk menghasilkan energi yang diperlukan.
Kompas dan Peta. Perlengkapan lain yang tak kurang penting adalah
senter, golok, obat-obatan, dan lain-lain. Unsur lain yang menetukan
keberhasilan pendakian gunung adalah keterampilan membaca peta dan
menggunkan kompas atau altimeter. Kondisi hutan Indonesia yang
mengharuskan pendaki gunung Indonesia menguasai keterampilan ini.
Keterampilan lain tentu saja ada, tali temali dan pengetahuan survival.
Keadaan fisik pendaki gunung adal unsur yang tak kalah pentig. Setiap
pendaki gunung harus mampu mengukur kemampuan fisiknya dalam mendaki
gunung. Seperti atlet-atlet cabang olahraga lainnya, pendaki gunung
harus menyiapkan fisiknya untuk melakukan kegiatan. Faktor ini yang
sering kali dilupakan pendaki gunung pemula. Perlengkapan dan
keterampilan memang penting bagi pendaki gunung, tetapi mengetahui
kemampua fisik diri sendiri adalah faktor yang juga menetukan
keberhasilan mendaki gunung.
Sumber : http://www.janu-jalanjalan.com/2013/03/kematian-pendaki-gunung-berawal-dari.html