Senin, 30 September 2013

Kematian Pendaki Gunung Berawal Dari Kurangnya Perlengkapan

 

 


Tulisan ini diambil dari Buku Norman Edwin "Catatan Sahabat Sang Alam". Tulisan ini juga pernah dimuat dalam surat kabar Suara Pembaruan, Sabtu, 14 maret 1987. Maksud saya mecatat dan menulisnya kembali bertujuan agar para pelaku kegiatan alam bebas khusunya pendaki gunung dapat sama-sama belajar dari kejadian masa lalu. Sehingga kejadian-kejadian yang tidak diinginkan tidak terulang kembali. Berikut isi dari tulisan Norman Edwin :

Jakarta, Sabtu 14 Maret 1987
Menteri Kehutanan Soedjarwo dalam waktu dekat akan mengeluarkan ketentuan dan peraturan untuk dipatuhi pendaki gunung. Diantaranya dengan tes kesehatan akibat banyaknya pecinta alam alam yang tewas ketika mendaki. Disinyalir banyak pendaki gunung yang tidak membawa perlengkapan cukup, bahkan ada yang bersendal jepit aja. Di bawah ini adalah analisa masalah pendakian gunung di negeri kita berdasar pengalaman Norman Edwin, seorang wartawan yang merangkap penjelajah alam.
Kesulitan utama bagi para pendaki gunung Indonesia adalah langkanya buku tentang teknik mendaki gunung. Kalaupun ada umumnya buku itu berbahasa asing. Beberapa buku berbahasa Indonesia tentang hal ini masih belum digarap secara profesional, artinya belum bisa dipakai oleh pendaki gunung Indonesia.


Untuk pendakian gunung di Indonesia yang berhutan dan beriklim tropis, perlengkapan yang diperlukan agak berbeda dibanding kalau kita mendaki di daerah subtropis di Eropa atau Amerika. Hutan yang lembab dan lebat, juga cucuran hujan yang sering terjadi, membuat teknik mendaki gunung di Indonesia mempunyai dimensi yang khas. 
Perlengkapan utama dari kegiatan yang mengandalkan kemampuan berjalan kaki ini tentunya adalah sepatu. Sepatu yang digunakan harus mempunyai sol yang baik dan terbuat dari karet atau karet sintetis. Banyak pendaki pemula yang melakukan kesalahan dengan memakai sepatu dengan sol kulit. Sol jenis ini membuat pemakainya gampang tergelincir dan ini berbahaya, terutama untuk gunung-gunung di Indonesia. Sol sepatu juga harus mempunyai "kembang" yang besar sehingga mampu "mengigit" medan yang licin. 
Perlengkapan lain adalah ransel. Dengan rasel, berat beban yang dibawa pendaki gunung gampang dibawa, karena titik berat jatuh tepat di pundak dan punggung. Kalau dibawa dengan tas biasa, beban itu akan ditahan oleh bagian-bagian yang tidak sekuat pundak dan punggung, misalnya oleh pinggang. Pengepakan barang dalam ransel juga seringkali mempengaruhi pembawanya. Barang yang berat harus diletakkan paling atas, ini sangat penting agar beban di dalam ransel itu tepat jatuh di pundak dan punggung, bukan ditempat lain.
Jeans Berbahaya. Setelah itu adalah pakaian. Banyak pendaki gunung yang mengira bahwa memakai celana jeans adalah praktis dan tahan robek. Sebenarnya memakai jeans bisa membahayakan pendaki gunung, lebih-lebih di gunung dengan curah hujan yang besar seperti di Indonesia. Bahan celana ini sukar sekali kering kalu basah. Kalu sudah begini, badan pemakainya akan selalu kedinginan. Ini akan mempercepat menurunnya panas badan karena cuaca dingin di gunung. Yang terbaik bahan celana adalah dari katun.
Karena kemungkinan hujan besar sekali di gunung, maka jas hujan atau jaket hujat penting sekali dibawa. Sering sekali kasus kematian di gunung berawal dari tidak dibawanya perlengkapan menahan hujan ini. Bdan yang basah karena tidak dilindungi dengan jas atau jaket hujan menyebabkan panas badan pendaki gunung menurun cepat sehingga tidak mampu lagi menghasilkan energi yang diperlukan. Lebih-lebih kalau sumber energi makanan tidak lagi tersedia karena sudah habis. 
Diremehkan. Setelah berjalan seharian, malam hari badan harus diistirahatkan agar cukup tersedia energi untuk pendakian berikutnya. Untuk itu seorang pendaki gunung memerlukan tempat yang nyaman dan hangat. Sebuah tenda yang baik diperlukan. Banyak kesalahan diperbuat pendaki pemula dengan meremehkan peranan tenda. Tanpa tenda, seorang pendaki gunung tidak dapat beristirahat dengan baik. Mungkin sepanjang malam dia tidak bisa beristirahat karena tidur di tempat terbuka atau di bivak yang kurang baik. 
Udara gunung yang dingin membuat pendaki gunung harus mampu menjaga panas badannya. Untuk itu sebuah kantung tidur (sleeping bag) diperlukan. Sepanjang malam badan jadi hangat dan mampu untuk menghadilkan energi untuk pandakian besoknya. 
Di gunung tropis, tidak bisa diharapkan pemakaian kayu untuk memasak. Karena itu, kompor harus masuk dalam perlengkapan yang harus dibawa. Sekarang ini banyak jenis kompor yang ringan. Kompor pompa yang memakai minyak tanah banyak dipakai untuk mendaki gunung-gunung di Indonesia. 
Seorang pendaki gunung memerlukan 3000 sampai 4000 kalori setiap hari dalam melakukan kegiatannya. Ia harus mampu memperthitungkan ini. Udara yang dingin menyebabkan seorang pendaki memerlukan kalori yang tinggi utnuk menghasilkan energi yang diperlukan.
Kompas dan Peta. Perlengkapan lain yang tak kurang penting adalah senter, golok, obat-obatan, dan lain-lain. Unsur lain yang menetukan keberhasilan pendakian gunung adalah keterampilan membaca peta dan menggunkan kompas atau altimeter. Kondisi hutan Indonesia yang mengharuskan pendaki gunung Indonesia menguasai keterampilan ini. Keterampilan lain tentu saja ada, tali temali dan pengetahuan survival. 
Keadaan fisik pendaki gunung adal unsur yang tak kalah pentig. Setiap pendaki gunung harus mampu mengukur kemampuan fisiknya dalam mendaki gunung. Seperti atlet-atlet cabang olahraga lainnya, pendaki gunung harus menyiapkan fisiknya untuk melakukan kegiatan. Faktor ini yang sering kali dilupakan pendaki gunung pemula. Perlengkapan dan keterampilan memang penting bagi pendaki gunung, tetapi mengetahui kemampua fisik diri sendiri adalah faktor yang juga menetukan keberhasilan mendaki gunung.

Sumber : http://www.janu-jalanjalan.com/2013/03/kematian-pendaki-gunung-berawal-dari.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar